- welcome -

Sabtu, 26 Maret 2011

KRAMADANGSA

Kesewenang-wenangan

Bila kita merasa paling benar, punya rasa memiliki yang sangat tinggi atas orang, barang, maupun ide atau gagasan, itulah antara lain ciri kepribadian kramadhangsa dalam konsep psikologi Suryomentaram, yaitu kepribadian sewenang-wenang: semua harus mengikuti kehendak kita, tak peduli keinginan orang lain.

Perilaku pelecehan dan kekerasan dalam berbagai bentuk (pelecehan emosional, pelecehan seksual, kekerasan verbal, kekerasan fisik, kekerasan seksual) merupakan wujud kesewenang-wenangan. Hal ini telah sangat umum menjadi sorotan oleh para feminis atau aktivis kesetaraan gender.

Psikologi sosial menjelaskan, perilaku pelecehan dan kekerasan dengan menggabungkan aspek makro maupun mikro (individu). Penjelasan-penjelasan klasik dari aspek individu meliputi perspektif biologis (genetik, insting, dan sebagainya) dan dinamika psikis internal. Selain itu, psikologi Indonesia memiliki penjelasan lain dari sisi individu, khususnya dengan konsep Kawruh Jiwa dari Ki Ageng Suryomentaram.

Penjelasan Suryomentaram mengenai perilaku sewenang-wenang berlandaskan pada konsep kramadangsa, yaitu kepribadian seseorang yang didasari oleh pikiran rasional. Manusia dalam kepribadian kramadangsa, bila berhubungan dengan orang lain, tindakan dan keputusannya diambil dengan melihat ciri-ciri atau catatan tentang: kaya, miskin, pandai, alim, penjahat, ningrat, dan seterusnya.

Dengan perasaan paling benar, senantiasa mendasarkan pada diri sebagai patokan dalam memandang berbagai hal, manusia yang sama-sama berkualitas kramadangsa akan mudah sekali berselisih.

Karena Rasa Memiliki Dalam diri manusia berkembang rasa memiliki, yang menurut Suryomentaram merupakan rasa mencari aman dan abadi dalam salah satu kebutuhan. Artinya, setiap kali merasa butuh, harus terpenuhi.

Rasa memiliki dapat ditujukan pada barang, orang, atau gagasan (ide). Itu mengapa orang bergantung pada barang, orang, dan gagasan. Rasa memiliki melahirkan rasa semaunya sendiri terhadap segala hal yang dimiliki, sedangkan setiap hal tersebut mempunyai sifat sendiri yang tak dapat dipaksakan menurut kehendak kita.

Rasa sewenang-wenang merupakan perwujudan dari rasa memiliki terhadap orang. Padahal, setiap orang butuh mengerti hal yang dialaminya. Karena itu, sebenarnya siapa pun tak dapat dipaksa untuk menuruti kehendak kita.

Bagaimana rasa memiliki melahirkan kesewenang-wenangan? Rasa memiliki merupakan sumber rasa cemburu, yang mendorong supaya pasangan tidak beralih kepada orang lain, sehingga menimbulkan rasa cemas tatkala pasangan meng¬arahkan pandangan kepada orang lain.

Rasa memiliki mendorong kita mengadakan larangan. Contohnya, pasangan tidak boleh melihat, bicara, dan berjalan dengan orang lain. Padahal, suami/istri memiliki mata, mulut, kaki, yang kerjanya melihat, bicara, dan berjalan. Jelas larangan semacam ini sewenang-wenang. Rasa memiliki seperti ini menimbulkan pertentangan keinginan-keinginan dalam diri kita sendiri. Mengenai hal ini Suryomentaram menjelaskan dengan gamblang dan dapat membuat kita geli pada keinginan kita yang senang melarang orang yang kita rasa sebagai milik kita. Larangan melihat, bicara, dan berjalan, berarti membuat orang buta, gagu, dan lumpuh. Apakah si pembuat larangan suka beristri/bersuamikan orang buta, gagu, dan lumpuh?

Rasa Kradamangsa Rasa sewenang-wenang berarti tidak menghiraukan orang lain. Menurut Suryomentaram ini merupakan ciri khas kepribadian kramadangsa.

Mengenai hal ini kita perlu menengok kembali gambaran kepribadian manusia menurut Suryomentaram yang terdiri dari empat dimensi: fungsi fisikal (dimensi I), emosional (dimensi II), intelektual (dimensi III), dan intuisional (dimensi IV).

Khususnya dimensi III, oleh Suryomentaram disebut sebagai kramadangsa (si tukang pikir), merupakan kesadaran personal dalam fungsi kognisi. Dengan adanya dimensi ini berarti tindakan manusia juga didasari pertimbangan rasional.

Selanjutnya, di antara dimensi III dan IV terdapat wilayah yang disebut “jalan simpang tiga”, merupakan fungsi dan tingkat pengintegrasian pribadi. Ini sangat pen¬ting untuk menjelaskan dinamika kepribadian manusia.

Suryamentaram menjelaskan demikian: manusia bertindak didasari catatan-catatan pengalaman hidupnya. Pada waktu rasa (emosi/afek) muncul dari catatan seseorang, ia dihadapkan pada pilihan antara mengikuti catatan atau tidak (bertindak emosional-impulsif atau berpikir rasional-reflektif).

Pilihan mengikuti catatan berarti menuju ke arah rasa kramadangsa yang dilekati oleh sifat egoistik. Pilihan tidak mengikuti catatan, berarti menuju ke arah manusia tanpa ciri yang merupakan kesadaran yang lebih universal dan bersifat altruistik.

Dalam gambaran kepribadian menurut Suryamentaram, manusia tanpa ciri berada di dimensi IV yang digambarkan sebagai jiwa sehat. Dimensi IV (fungsi intuisi) merupakan salah satu alat yang dapat berfungsi untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain, serta mengetahui kekurangan atau kesalahan diri sendiri.

Bila seseorang merasa paling benar (egoistis), ia akan kembali pada dimensi III, yakni membela diri sendiri sebagai yang paling benar. Hal ini menghambat perkembangan dimensi IV, yang berarti mengambat perkembangan ke arah manusia tanpa ciri, yang sehat sejahtera.

Tidak Permanen Lahirnya manusia tanpa ciri tidak berlangsung terus-menerus atau permanen, melainkan hanya pada setiap kejadian, yaitu ketepatan dalam bertindak. Bila seseorang senantiasa mengamati sepak terjang keinginannya sendiri, selalu netral, memahami diri, dan telah mengidentifikasi diri sebagai “Aku manusia tanpa ciri”, barulah merasa tenang dan tenteram.

Manusia tanpa ciri dalam berinteraksi dengan orang lain memandang semua orang adalah sama. Pemahaman dan rasa sama ini membawa ke arah pengertian bahwa jalan untuk menyenangkan diri sendiri atau mendapatkan kebahagiaan adalah dengan cara menyenangkan atau membahagiakan orang lain (bersikap altruistik). Sebaliknya, kramadangsa mencari enak sendiri, tidak menghiraukan orang lain (sewenang-wenang).

Meneliti Kesewenang-wenangan Setiap orang memiliki kecenderungan untuk sewenang-wenang. Namun, bila kesewenang-wenangan itu diteliti dengan seksama, kita amati tanpa rasa senang atau benci (netral), kramadangsa itu mati, dan sifat yang sewenang-wenang juga mati.

Untuk dapat meneliti rasa sewenang-wenang kita sendiri, kita perlu melenyapkan rasa suka dan benci terlebih dahulu. Penelitian dimulai dari hubungan kita dengan orang yang kita kasihi, yaitu suami/istri, anak, dan seterusnya.

Berikut contoh pertanyaan yang dapat digunakan untuk mawas diri:

1. Dalam memberikan sesuatu kepada orang yang kita kasihi, apakah kita tetap mengasihinya bila dia tidak menyambut pemberian dengan senang hati? Bila kita marah, berarti kita hanya mencari enak sendiri, tidak menghiraukan orang yang kita marahi, dan berarti sewenang-wenang.

2. Apakah kita marah bila orang yang kita kasihi berbuat hal yang bertentangan dengan cita-cita (angan-angan) kita? Bila ya, berarti sebenarnya kita tidak menyayanginya, melainkan menjadikan dia sebagai alat untuk melestarikan cita-cita kita sendiri.

Tanpa mengenal kesewenang-wenangan dalam diri sendiri, kasih sayang tak dapat lahir. Kelahiran kasih sayang serentak dengan kematian kramadangsa. Kramadangsa tidak dapat berkasih sayang. Bila kramadangsa mati, rasa memiliki pun mati karena rasa memiliki itu sifat kramadangsa. Selanjutnya, jika rasa memiliki hilang, hubungan menjadi merdeka dan memerdekakan.

Jika hubungan merdeka, rasa ingin enak-kekal hilang karena yang ingin enak-kekal ialah kramadangsa. Sebaliknya, kematian kramadangsa justru melahirkan rasa enak-kekal.

@MM Nilam Widyarini MSi http://www.kompas.com


-------------------------------------------------------

Hudoyo Hupudio

‎@Putu: <<itulah antara lain ciri kepribadian kramadhangsa dalam konsep psikologi Suryomentaram, yaitu kepribadian sewenang-wenang: semua harus mengikuti kehendak kita, tak peduli keinginan orang lain. >>

Kramadangsa bukan hanya kepribadian yg "negatif" saja. Bahkan kepribadian yg "positif" termasuk Kramadangsa, SELAMA BERPUSAT PADA RASA-AKU: "Aku orang yg pintar; aku orang yg dermawan; aku orang yg religius, aku orang spiritual; aku telah manunggal dengan Gusti, dsb."

Kramadangsa ini bisa mati hanya dengan disadari secara pasif. Tidak bisa dimatikan, karena yg ingin mematikan itu pun Kramadangsa lagi.

Kalau Kramadangsa ini mati, itu yg dinamakan "mati sajroning urip". Badan masih bernapas, tapi batin, si aku sudah mati.

Kalau manusia telah mengalami ini, maka di situ muncullah sesuatu yg lain, sesuatu yg bukan aku, bukan Hudoyo lagi. Itulah yg dinamakan "urip sajroning mati". Tapi syarat agar itu muncul, Hudoyo ini harus mati dulu.

Menurut Ki Ageng, matinya Kramadangsa menghasilkan pula --bukan "manunggaling kawolo kan Gusti"-- melainkan "sirnaning kawulo lan Gusti".

Persis sama dengan ajaran Buddha dan ajaran Krishnamurti.


Sastrawan Putu :
‎@ Hudoyo :... Wah terimakasih pak hud atas penjelasannya tentang kramadangsa [si tukang pikir] tetapi saya masih belum memahami bagaimana mungkin "kasih sayang" bisa lahir ketika kramadangsa itu lenyap, dimana kita tak lagi memiliki rasa suka atau benci ? mohon tuntunannya pak !

Hudoyo Hupudio :
‎'Kasih sayang' yg lahir ketika si aku (kramadangsa) lenyap bukanlah kasih sayang yang kita kenal selama ini.

Bedanya ialah:

(1) Kasih sayang sejati itu tidak berasal dari sebuah subjek, karena subjek sudah mati.

Dalam kesadaran sehari-hari, kasih sayang selalu berasal dari 'aku': "AKU sayang ini-itu".

(2) kasih sayang sejati tidak mempunyai objek tertentu; atau dapat juga dikatakan, objek dari kasih sayang sejati adalah semua objek tanpa kecuali.

Dalam kesadaran sehari-hari, kasih sayang yg berasal dari 'aku' SELALU tertuju pada satu atau beberapa objek tertentu. Kita tidak pernah mengalami kasih sayang tanpa objek dalam kesadaran sehari-hari. Saya bisa menyayangi satu atau beberapa perempuan, tapi saya tidak mungkin menyayangi semua perempuan termasuk pelacur. Itu hanya ada dalam teori.

Oleh karena itu, dengan pikiran ini kita tidak bisa memahami kasih sayang sejati itu sama sekali.

Tidak ada komentar: