- welcome -

Kamis, 12 Mei 2011

Kebenaran Cinta Nietzsche

Oleh: John Ferry Sihotang

Memang tak ada kebenaran absolut. Kebenaran bagi kita dan Nietzsche adalah fungsi aktivitas. Sesuatu yang sering kita lakukan: menihilkan kesepian. Kebenaran adalah hidup itu sendiri. Hidup yang meluhurkan “kehendak untuk berkuasa”. Suatu dinamika. Realitas yang terus berubah. Tak pernah statis untuk segala waktu dan tempat. Seperti nostalgia ciuman gila yang pernah kita lakukan di pojok mesin ATM. Pun kriteria kebenaran rindu adalah kriteria fleksibel. Sebuah “ilusi”, sebagai suatu fiksi penuh manfaat. Namun selalu menuntut niat perjumpaan. Membimbing kehendak untuk berkuasa dalam chaos besar dan monumental: meggetarkan dinding malam dan langit berbintang.

Percumbuan adalah salah satu “bentuk khusus” dari kehendak untuk berkuasa. Karena hidup sudah terlanjur dipenuhi insting-insting yang dikendalikan sebuah kekuatan yang dominan: intelegensi, suara hati, dorongan seksual, bau alkohol, dsb. Penggabungan perbagai kekuatan itu senantiasa memicu dentuman besar ekspresi diri. Sehingga, kita bercumbu bukan untuk berada, melainkan kita berada untuk bercumbu. Karena kebenaran adalah apa yang kita kerjakan, bukan yang kita temukan atau kita miliki. Dan sublimasi kehendak untuk berkuasa adalah mengasuh insting primordial itu, sebuah proses vital. Walau kerap jadi fakta brutal dalam telanjang yang terburu-buru.

Pun pergumulan kita selalu merujuk pada Nietzsche: sebuah Dinamit! Dinamit hasrat yang selalu meledak di bilik malam. Banyak yang memuja, namun lebih banyak tetangga yang mengutuk. Karena seakan sebuah ketidakseriusan. Suara kenikmatanmu melolong membongkar ketenangan malam. Kehendak untuk berkuasa terbaik adalah bercinta, dan bukan yang lain, katamu membela diri. Kau menguasaiku sepenuhnya, dan aku mengafirmasinya dengan utuh. Malam-malam kita pun menjadi ajang perebutan posisi kekuasaan tindih. Proposisi ambiguitas hunjam, kontradiksi pagut, paradoks desah, mobilitas debar dan perubahan degup, berikhtiar terus-menerus. Ya. Sebuah diskontinu. Melegitimasi ketegangan dan permusuhan: saling menaklukkan. Satu bentuk tendensi eksistensial atau gerak fundamental dalam dominasi cumbu. Yang berakhir dengan asimilasi jumlah kekuasaan: saat kelamin mengada, menyata, dan meledak dalam keselarasan tubuh yang lunglai.

Borneo, 02 Agustus 2010.

Daftar Pustaka:

Grimm, Ruediger Hermann, Nietzsche’s Theory of Knowledge, Berlin, New York: Walter de Gruyter, 1977

Kristianto, Dwi , Konsep Friedrich Nietzsche Tentang Kebenaran, dalam Jurnal Filsafat Driyarkara Tahun XXVII, No.2, Jakarta 2004.



johnferrysihotang.wordpress.com

Tidak ada komentar: