- welcome -

Selasa, 12 April 2011

APAKAH SUATU AGAMA

INTISARI AGAMA BUDDHA Bag.3 (APAKAH SUATU AGAMA)
oleh Ven. Narada Mahathera



Agama Buddha tidak menuntut kepercayaan membuta dari para pengikutnya. Sang Buddha menegaskan ajarannya untuk datang dan membuktikan kebenaran itu jadi tidak menuntut untuk percaya secara membuta bagi pengikutnya. Kepercayaan membuta disingkirkan dan diganti dengan suatu keyakinan yang berdasarkan pada pengetahuan, yang dalam bahasa Pali disebut Saddha. Keyakinan seorang umat terhadap Sang Buddha adalah seperti keyakinan orang sakit terhadap dokter yang merawatnya atau seorang murid terhadap guru yang arif bijaksana. Seorang Buddhis mencari perlindungan pada Sang Buddha karena Beliaulah yang telah menemukan jalan kebebasan. Seorang Buddhis tidak mencari perlindungan pada Sang Buddha dengan harapan bahwa ia akan dapat diselamatkan melalui kesucian Beliau. Sang Buddha tidak memberikan jaminan demikian. Karena seorang Buddha tidak dapat membersihkan kekotoran – kekotoran batin orang lain. Seseorang tidak dapat membuat suci orang lain ataupun membuat kotor orang lain. Yang dimaksud Aku berlindung kepada Buddha adalah sifat – sifat mulia. Beliau harus kita punyai didalam diri kita. Beliau Maha Bijaksana jadi kalau kita memiliki kebijaksanaan berarti mengerti dengan jelas mana yang benar dan salah, baik dan buruk, kotor dan bersih, Sukkha dan Dukkha akhirnya mengikuti jalan yang terang, bersih, baik yang membawa kebahagiaan baik bagi diri sendiri maupun demi untuk makhluk yang lainnya. Beliau Maha Suci yang mana kita memiliki pikiran yang bersih jernih didalam menghadapi problem dan masalah, jangan menggunakan emosi dan perasaan yang mengotori pikiran kita sendiri. Sifat inilah yang akan menjadi pelindung kita yang sejati. Beliau memiliki Maha Sati. Kalau kita selalu memiliki kewaspadaan dan berhati – hati terhadap semua aktifitas pikiran, ucapan dan perbuatan dan kita mampu menyeleksi yang positif dan negatif. Lalu menyetop hal – hal yang negatif dan mengembangkan yang positif. Inilah yang dikatakan oleh Umat Buddha. “ Buddham Saranam Gacchami “.

Siapa saja yang memiliki kebijaksanaan, ketenangan ( pikiran bersih ) dan selalu ingat dan waspada didalam pikirannya sendiri. Disinilah Sang Buddha melindungi kita semua.

Sebagai seorang guru, Sang Buddha mengajar kita, tetapi kita sendirilah yang bertanggung jawab atas kesucian diri kita. Walaupun seorang Buddhis mencari perlindungan pada Sang Buddha, namun ia tidak dapat melakukan penyerahan diri dan tidak perlu mengorbankan kebebasan pikirannya dengan menjadi pengikut Sang Buddha. Ia dapat mempergunakan kehendak bebasnya dan mengembangkan pengetahuannya bahkan sampai dapat menjadi seorang Buddha.

Titik tolak agama Buddha adalah penalaran atau pengertian benar, yang dalam bahasa Pali disebut Samma-ditthi.

Kepada para pencari kebenaran, Sang Buddha bersabda : “ Janganlah menerima sesuatu hanya karena cerita orang ( dengan berpikir bahwa hal itu telah kita dengar sejak lama ). Jangan menerima sesuatu hanya karena tradisi ( dengan berpikir bahwa hal itu telah diwariskan turun temurun ). Jangan menerima sesuatu atas dasar kabar angin ( dengan mempercayai apa yang telah dikatakan orang lain tanpa menyelidikinya ). Jangan menerima sesuatu hanya karena perkiraan. Jangan menerima sesuatu hanya karena kesimpulan. Jangan menerima sesuatu hanya karena pertimbangan nalar. Jangan menerima sesuatu hanya karena hal itu sesuai dengan gagasan yang telah dibayangkan sebelumnya. Jangan menerima sesuatu hanya karena hal tampaknya dapat diterima ( dengan berpikir bahwa karena si pembicara adalah orang yang baik, maka kata – katanya harus diterima ). Jangan menerima sesuatu dari seorang pertapa ( guru ) dan karenanya kita patut menerima kata – katanya “.

Bila engkau ( Anda ) mengetahui dan yakin bahwa hal – hal itu tidak bermoral, tercela, dikecam oleh para bijaksana, bila dilakukan dan dilaksanakan akan membawa kericuhan dan kesedihan, maka tentu saja engkau ( Anda ) harus menolak hal – hal tersebut. Inilah yang dikatakan tidak beragama karena bertentangan dengan tujuan semua agama.

Apabila engkau ( Anda ) mengetahui dan yakin, bahwa ini bermoral, tidak tercela, dipuji oleh para bijaksana ; bila dilakukan dan dilaksanakan akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan, maka engkau ( Anda ) harus bertindak sesuai dengannya, karena sesuai dengan tujuan agama. Agama bertujuan dan menunjukkan jalan didunia dan jalan menuju ke sorga supaya mereka yang mengikuti jalannya bisa mendapatkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera baik di dunia maupun di akhirat.

Sampai sekarang sabda – sabda Sang Buddha ini masih menyimpan kekuatan dan kesegarannya yang asli.

Walapun tak ada kepercayaan yang membuta, tetapi orang akan bertanya, apa artinya patung dalam agama Buddha ?

Umat Buddha tidak memuja patung ( rupam ) dengan harapan untuk memperoleh keuntungan duniawi atau rohani, tetapi mereka menghormat apa yang dilambangkannya.

Dengan mempersembahkan bunga – bunga dan dupa dihadapan Buddha rupam, seorang Buddhis yang memiliki pengertian, akan merasa dirinya berhadapan dengan Sang Buddha sendiri dan dengan cara demikian ia mengharapkan memperoleh inspirasi dari kepribadian Sang Buddha. Pohon Bodhi juga merupakan lambang Penerangan Sempurna. Obyek – obyek penghormatan luar ini tidak mutlak perlu, tetapi mereka berguna karena dapat dipakai untuk memusatkan pikiran. Seorang yang sudah maju batinnya tidak perlu mempergunakan obyek – obyek luar tersebut, karena ia sudah dapat memusatkan perhatiannya dan menggambarkan Sang Buddha dalam batinnya.

Demi kebaikkan kita sendiri dan karena rasa syukur yang tak terhingga maka kita melakukan penghormatan luar seperti itu. Tetapi apa yang diharapkan oleh Sang Buddha dari para siswa-Nya bukanlah penghormatan semacam itu, melainkan pelaksanaan ajaran – ajaran Beliau dalam kehidupan sehari – hari. Sang Buddha bersabda : “ Ia yang melaksanakan ajaran – ajaran-Ku dengan baik berarti ia menghormati-Ku “.

Selain itu, perlu kiranya dicamkan bahwa, dalam agama Buddha tak ada permohonan atau doa – doa perantara. Betapapun seringnya kita berdoa pada Sang Buddha kita tak dapat diselamatkan-Nya. Sang Buddha tidak menjanjikan hadiah kepada mereka yang berdoa kepada-Nya. Agama Buddha mengajarkan meditasi yang dapat mengakibatkan pengendalian diri, penyucian dan penerangan batin. Meditasi bukan berdiam diri melamun atau mengosongkan pikiran. Meditasi adalah memusatkan pikiran. Sang Buddha tidak hanya menyatakan betapa sia – sianya doa – doa persembahan, tetapi Beliau juga mencela perbudakan mental. Seorang umat Buddha tidak seharusnya berdoa untuk keselamatannya, tetapi harus berusaha sendiri sekuat tenaga untuk mencapai kebebasan.

APAKAH AGAMA BUDDHA SEMACAM SISTEM ETIKA

Jalan menuju kebahagiaan yang ditunjukkan oleh Sang Buddha, adalah Sila, Samadhi dan Panna jadi tak perlu lagi diragukan bahwa agama Buddha berisi kaidah etika yng luhur yang tak ada bandingnya dalam kesempurnaan dan pengabdian tanpa pamrih. Etika agama Buddha berhubungan dengan cara hidup para Bhikkhu dan cara hidup umat awam. Tetapi agama Buddha bukan semata – mata ajaran moralitas biasa. Moralitas hanya merupakan permulaan dari Jalan Kesucian untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Walau moralitas penting, namun moralitas itu sendiri tidak cukup untuk mencapai kebebasan. Moralitas harus didukung dengan kebijaksanaan ( panna ). Dasar agama Buddha adalah moralitas, dan kebijaksanaan adalah puncaknya.

Dalam melaksanakan moralitas ; seorang Buddhis tidak boleh hanya memperhatikan dirinya sendiri, tetapi juga harus memperhatikan makhluk – makhluk lain, tidak terkecuali binatang – binatang. Dalam agama Buddha, moralitas tidak didasarkan atas suatu wahyu atau merupakan hasil rekaan seorang pandai. Moralitas adalah suatu aturan yang berdasarkan fakta – fakta yang dapat dibuktikan pada pengalaman sendiri.

Perlu ditegaskan bahwa tidak ada suatu kekuatan adikodrati apapun yang ikut ambil bagian dalam pembentukan sifat seorang Buddhis. Dalam agama Buddha tak ada orang yang memberi anugrah atau hukuman. Penderitaan dan kebahagiaan merupakan akibat dari perbuatan sendiri. Pernyataan tentang mendatangkan kesenangan atau kemurkaan seorang dewa tidak pernah terpikirkan oleh seorang Buddhis. Bukan harapan akan pahala atau rasa takut akan siksaan – siksaan yang mendorong ia untuk berbuat baik atau menahan diri dari perbuatan jahat. Seorang umat Buddha sadar akan akibat – akibat yang akan ia terima. Ia menahan diri dari perbuatan jahat karena perbuatan tersebut menghambat perkembangan batinnya dan ia berbuat baik karena hal itu membantu lajunya pencapaian Penerangan Sempurna ( bodhi ).

Untuk dapat mengerti betapa tingginya tingkat moral yang diharapkan oleh Sang Buddha dari para pengikut-Nya maka kita perlu membaca kitab Dhammapada, Sigalovada Sutta, Vyaggapajja Sutta, Mangala Sutta, Karaniya Sutta, Parabhava Sutta, Vassala Sutta, Dhammika Sutta, dan lain – lain.

Sebagai suatu ajaran moral, agama Buddha melampaui semua sistem etika lainnya, namun moralitas hanya permulaan, bukan merupakan tujuan agama Buddha.

Dalam satu arti agama Buddha bukan suatu filsafat, dalam arti lain agama Buddha adalah filsafat daripada filsafat – filsafat. Dalam satu arti agama Buddha bukan suatu agama, dalam arti lain adalah agama daripada agama – agama.

Agama Buddha bukan sesuatu yang metafisik atau ritualistis, tidak skeptis ataupun dogmatis, bukan penyiksaan diri ataupun pemuasan dalam kesenangan indria, tidak pesimis ataupun optimis, bukan keabadian ( eternalis ) ataupun pemusnahan ( nihilis ), bukan mutlak duniawi ataupun mutlak di atas duniawi. Agama Buddha adalah suatu Jalan Penerangan Sempurna yang unik.

Istilah asli untuk agama Buddha dalam bahasa Pali adalah Dhamma, yang secara harfiah berarti apa yang mendukung. Tak ada padanan dalam bahasa Indonesia yang dapat menerangkan arti istilah Pali tersebut secara tepat.

Dhamma adalah apa yang nyata. Ia adalah ajaran kebenaran. Ia adalah suatu jalan menuju kebebasan dari penderitaan dan kebebasan itu sendiri. Apakah para Buddha muncul di dunia atau tidak, Dhamma tetap ada. Dhamma tidak terlihat oleh mata orang bodoh, sampai seorang Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memahami-Nya dan mengajarkan kepada dunia atas dasar kasih sayang-Nya yang tak terbatas.

Dhamma bukan sesuatu yang berada di luar diri kita tetapi berhubungan erat dengan diri sendiri. Sebagaimana telah dikatakan oleh Sang Buddha : “ Jadilah pulau bagi dirimu sendiri. Jadilah perlindungan bagi dirimu sendiri. Berdiamlah dengan Dhamma sebagai sebuah pulau, dengan Dhamma sebagai suatu perlindungan. Janganlah mencari perlindungan di luar dirimu “. ( Maha Parinibbana Sutta ).

Dari uraian diatas jelaslah, bahwa agama Buddha adalah ajaran untuk mencapai Kebebasan, pengembangan pribadi ke arah Kesempurnaan.


================

Buddhism in a Nutshell Part 3 (Is it a religion?)
by Ven Narada Thera


Is it a religion?

It is neither a religion in the sense in which that word is commonly understood, for it is not "a system of faith and worship owing any allegiance to a supernatural being."

Buddhism does not demand blind faith from its adherents. Here mere belief is dethroned and is substituted by confidence based on knowledge, which, in Pali, is known as saddha. The confidence placed by a follower on the Buddha is like that of a sick person in a noted physician, or a student in his teacher. A Buddhist seeks refuge in the Buddha because it was he who discovered the path of deliverance.

A Buddhist does not seek refuge in the Buddha with the hope that he will be saved by his (i.e. the Buddha's own) personal purification. The Buddha gives no such guarantee. It is not within the power of a Buddha to wash away the impurities of others. One could neither purify nor defile another. The Buddha, as teacher, instructs us, but we ourselves are directly responsible for our purification. Although a Buddhist seeks refuge in the Buddha, he does not make any self-surrender. Nor does a Buddhist sacrifice his freedom of thought by becoming a follower of the Buddha. He can exercise his own free will and develop his knowledge even to the extent of becoming a Buddha himself.

The starting point of Buddhism is reasoning or understanding, or, in the Pali words, samma-ditthi.

To the seekers of truth the Buddha says:

"Do not accept anything on (mere) hearsay -- (i.e., thinking that thus have we heard it for a long time). Do not accept anything by mere tradition -- (i.e., thinking that it has thus been handed down through many generations). Do not accept anything on account of mere rumors -- (i.e., by believing what others say without any investigation). Do not accept anything just because it accords with your scriptures. Do not accept anything by mere suppositions. Do not accept anything by mere inference. Do not accept anything by merely considering the reasons. Do not accept anything merely because it agrees with your pre-conceived notions. Do not accept anything merely because it seems acceptable -- (i.e., thinking that as the speaker seems to be a good person his words should be accepted). Do not accept anything thinking that the ascetic is respected by us (therefore it is right to accept his word).

"But when you know for yourselves -- these things are immoral, these things are blameworthy, these things are censured by the wise, these things, when performed and undertaken conduce to ruin and sorrow -- then indeed do you reject them.

"When you know for yourselves -- these things are moral, these things are blameless, these things are praised by the wise, these things, when performed and undertaken, conduce to well-being and happiness -- then do you live acting accordingly."

These inspiring words of the Buddha still retain their original force and freshness.

Though there is no blind faith, one might argue whether there is no worshipping of images etc., in Buddhism.

Buddhists do not worship an image expecting worldly or spiritual favors, but pay their reverence to what it represents.
An understanding Buddhist, in offering flowers and incense to an image, designedly makes himself feel that he is in the presence of the living Buddha and thereby gains inspiration from his noble personality and breathes deep his boundless compassion. He tries to follow the Buddha's noble example.

The Bo-tree is also a symbol of Enlightenment. These external objects of reverence are not absolutely necessary, but they are useful as they tend to concentrate one's attention. An intellectual person could dispense with them as he could easily focus his attention and visualize the Buddha. For our own good, and out of gratitude, we pay such external respect but what the Buddha expects from his disciple is not so much obeisance as the actual observance of his Teachings. The Buddha says -- "He honors me best who practices my teaching best." "He who sees the Dhamma sees me."

With regard to images, however, Count Kevserling remarks -- "I see nothing more grand in this world than the image of the Buddha. It is an absolutely perfect embodiment of spirituality in the visible domain."

Furthermore, it must be mentioned that there are no petitional or intercessory prayers in Buddhism. However much we may pray to the Buddha we cannot be saved. The Buddha does not grant favors to those who pray to him. Instead of petitional prayers there is meditation that leads to self-control, purification and enlightenment. Meditation is neither a silent reverie nor keeping the mind blank. It is an active striving. It serves as a tonic both to the heart and the mind. The Buddha not only speaks of the futility of offering prayers but also disparages a slave mentality. A Buddhist should not pray to be saved, but should rely on himself and win his freedom.

"Prayers take the character of private communications, selfish bargaining with God. It seeks for objects of earthly ambitions and inflames the sense of self. Meditation on the other hand is self-change." -- Sri Radhakrishnan.

In Buddhism there is not, as in most other religions, an Almighty God to be obeyed and feared. The Buddha does not believe in a cosmic potentate, omniscient and omnipresent. In Buddhism there are no divine revelations or divine messengers. A Buddhist is, therefore, not subservient to any higher supernatural power which controls his destinies and which arbitrarily rewards and punishes. Since Buddhists do not believe in revelations of a divine being Buddhism does not claim the monopoly of truth and does not condemn any other religion. But Buddhism recognizes the infinite latent possibilities of man and teaches that man can gain deliverance from suffering by his own efforts independent of divine help or mediating priests.

Buddhism cannot, therefore, strictly be called a religion because it is neither a system of faith and worship, nor "the outward act or form by which men indicate their recognition of the existence of a God or gods having power over their own destiny to whom obedience, service, and honor are due."

If, by religion, is meant "a teaching which takes a view of life that is more than superficial, a teaching which looks into life and not merely at it, a teaching which furnishes men with a guide to conduct that is in accord with this its in-look, a teaching which enables those who give it heed to face life with fortitude and death with serenity,"[6] or a system to get rid of the ills of life, then it is certainly a religion of religions.


[Artikel Buddhis]

Tidak ada komentar: