- welcome -

Kamis, 17 Februari 2011

Jangan Bunuh dan Berhalakan Ajaran-ajaran Luhur itu!

Agama Kearifan selalu satu dan sama, dan menjadi kata-akhir dari pengetahuan manusia yang mungkin; karenanya, ia terpelihara dengan sangat hati-hati. Ajaran Kearifan ini jauh mendahului para Teosof Alexandria, mencapai masa moderen, dan akan bertahan terhadap setiap agama dan filsafat.

~ HP. Blavatsky.

Walaupun sesuatu yang menyejarah itu seolah-olah hidup sepanjang jaman, namun menempatkan manusia-manusia besar —seperti: Buddha, Jesus, Mohammad, Laotze dan yang lainnya— yang hanya sebagai bagian dari sejarah masa-lalu umat manusia, hanya akan membunuh ajaran-ajaran luhurnya. Beliau-beliau berikut ajaran-ajaran luhurnya itu hanya akan menjadi bagian dari situs-situs sejarah —sama halnya dengan tak terhitung banyaknya situs-situs sejarah lainnya, di benak kita. Dan ini, tidak jauh bedanya dengan “membunuh” beliau-beliau itu dan juga ajaran-ajarannya, serta tak lebih baik dari menjadikannya sebagai sekedar fosil-fosil mati yang mengurung kearifan di dalam sebentuk kebanggaan masa silam yang beku.

Membiarkannya seperti itu, tak akan pernah mengantarkan manusia manapun pada kebesaran, kejayaan, apalagi kearifan nan agung itu. Ammonius Saccas, yang dipandang sebagai salah seorang peletak landasan pertama Theosofi, pernah menyatakan kalau tujuan Jesus adalah untuk mengembalikan ajaran Kebijaksanaan Agung pada keutuhan yang sederhana. Menurutnya, agaknya Jesus faham betul akan berlangsungnya fenomena “pemfosilan” —yang tak sepenuhnya disadari— ini. Dan kalau pendapat Ammonius itu dianggap benar —setidak-tidaknya sehubungan dengan apa yang sebetulnya diperbuat Jesus— maka “pembunuhan” dan “pemfosilan” terhadap ajaran-ajaran luhur ini, sudah berlangsung puluhan abad lamanya di muka bumi ini.

Kelahiran seorang Adi Shankara sekitar abad ke-8 masehi di India misalnya, dianggap sebagai menghidupkan kembali Kebijaksanaan Agung purba yang sempat meredup cahayanya, akibat ulah sementara orang fanatik yang menganggap dirinya sudah sedemikian saleh serta sedemikian dekatnya dengan Tuhan. Akibatnya, alih-alih membiarkannya hidup dan menjaga kelestariannya, mereka malah “membunuh” untuk kemudian “memberhalakan” ajaran-ajaran luhur itu.

Tak kurang dari tiga renaisance tercatat pernah terjadi di Bali. Yang pertama, yang tercatat di dalam sejarah, adalah kedatangan Rshi Markandeya ke Bali —belasan abad yang lalu; kemudian disusul oleh kedatangan Mpu Kuturan —di awal abad ke-11 masehi; dan Danghyang Nirartha — pada tahun-tahun terakhir menjelang keruntuhan Negara Kesatuan Majapahit Raya.

Mengamati “return-period” kematian dan penghidupan kembali —apa yang disebut oleh Ammonius sebagai— Kebijaksanaan Agung ini, agaknya tidaklah mustahil kalau di penghujung awal millennium ketiga ini terjadi penghidupan yang serupa, setidak-tidaknya diawali di suatu wilayah terbatas —seperti Bali misalnya. Oleh karenanya, kalaupun ada yang perlu dibunuh di dalam diri kita berkaitan dengan itu, maka kecenderungan kita “memfosilkan” dan “memberhalakan” ajaran-ajaran luhur nan mulia itulah, untuk memungkinkannya hidup kembali dalam segenap kebaruan dan kesegarannya. Semoga!

Bali, 30 Nopember 2005
BeCeKa - Berkas Cahaya Kesadaran


Tidak ada komentar: